Di Jepang, negara yang dikenal dengan etos kerja kerasnya, tren “quiet quitting” tengah merebak. Istilah yang populer di Amerika Serikat ini menggambarkan karyawan yang hanya mengerjakan tugas minimal. Namun, di Jepang, fenomena ini bermakna sedikit berbeda dan cukup mengejutkan. Bukannya menolak bekerja, para pekerja Jepang lebih memilih untuk disiplin waktu kerja, masuk tepat waktu dan pulang sesuai jam kerja.
Mereka tidak lagi mengejar pujian, promosi, atau gaji tinggi yang berarti beban kerja ekstra. Bonus kinerja pun tak lagi menjadi daya tarik utama. Hal ini menunjukkan perubahan signifikan dalam budaya kerja Jepang yang selama ini dikenal sangat loyal dan dedikasi tinggi terhadap perusahaan.
Quiet Quitting ala Jepang: Lebih dari Sekadar Kerja Minimalis
Sebuah survei terhadap 3.000 pekerja berusia 20 hingga 59 tahun oleh Mynavi Career Research Lab, lembaga riset ketenagakerjaan di Tokyo, mengungkapkan fakta mengejutkan. Sekitar 45 persen responden mengaku hanya mengerjakan tugas yang diwajibkan. Generasi muda, khususnya yang berusia 20-an, paling banyak menunjukkan tren ini. Studi ini menggarisbawahi pergeseran nilai kerja di kalangan pekerja Jepang.
Angka tersebut mengindikasikan perubahan paradigma yang cukup signifikan. Bukan sekadar soal mengurangi beban kerja, “quiet quitting” versi Jepang lebih mencerminkan keinginan untuk menyeimbangkan kehidupan profesional dan personal.
Prioritas “Me Time”: Keseimbangan Hidup yang Baru
Alasan di balik tren ini beragam. Namun, keinginan untuk memiliki lebih banyak waktu luang untuk diri sendiri menjadi faktor utama. Issei, seorang pekerja berusia 26 tahun, misalnya, mengatakan ia ingin lebih banyak waktu untuk hobinya.
Ia tidak membenci pekerjaannya, tetapi lebih memprioritaskan kegiatan di luar pekerjaan seperti bertemu teman, bepergian, atau mendengarkan musik. Issei juga mengungkapkan bahwa generasi sebelumnya, seperti kakeknya, memiliki pandangan berbeda tentang kerja keras. Namun, ia merasa perspektif tersebut tidak lagi relevan dengan keinginannya untuk menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Generasi Baru, Pandangan Baru tentang Kerja Keras
Studi Mynavi mengonfirmasi bahwa “me time” menjadi motivasi utama di balik tren “quiet quitting” di Jepang. Sebagian pekerja merasa upah yang diterima sudah sebanding dengan pekerjaan yang mereka lakukan. Mereka merasa puas dengan kontribusi mereka dan tetap merasakan pencapaian.
Namun, ada juga yang memilih untuk bekerja seminimal mungkin karena merasa kontribusi mereka tidak dihargai perusahaan. Mereka juga tidak tertarik untuk naik jabatan atau mengejar karir yang lebih tinggi. Perubahan ini didorong oleh generasi muda yang melihat orang tua mereka mengorbankan waktu dan kehidupan pribadi demi perusahaan. Sumie Kawakami, dosen ilmu sosial dan konsultan karier, menjelaskan bahwa generasi muda telah belajar dari pengalaman generasi sebelumnya dan memilih jalan hidup yang berbeda. Mereka menginginkan keseimbangan hidup yang lebih baik.
Kesimpulannya, tren “quiet quitting” di Jepang bukan sekadar mengurangi beban kerja, melainkan refleksi perubahan nilai dan prioritas generasi muda. Mereka mencari keseimbangan antara tuntutan pekerjaan dan kebahagiaan pribadi. Tren ini menunjukkan pergeseran paradigma dalam budaya kerja Jepang yang selama ini sangat menekankan dedikasi dan loyalitas tanpa batas terhadap perusahaan. Perubahan ini menunjukkan bahwa prioritas kesejahteraan mental dan keseimbangan hidup semakin penting bagi para pekerja muda Jepang.
