Bayangkan, hampir semua negara di dunia tak mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Studi global terbaru, Gap Between National Food Production and Food-Based Dietary Guidance Highlights Lack of National Self-Sufficiency (2025), mengungkapkan fakta mengejutkan ini.
Hanya satu negara yang benar-benar swasembada pangan. Temuan ini menyoroti kerentanan sistem pangan global di tengah berbagai krisis.
Guyana: Satu-satunya Negara Swasembada Pangan
Dari 186 negara yang diteliti, hanya Guyana yang berhasil mandiri pangan. Negara kecil di Amerika Selatan ini memenuhi kebutuhan tujuh kelompok pangan sehat versi diet Livewell WWF.
Keberhasilan ini berkat investasi besar di sektor pertanian sejak 2020. Produksi beras meningkat drastis, peternakan tumbuh pesat, dan sektor perikanan juga berkembang.
Pemerintah Guyana juga gencar mengembangkan budidaya kacang-kacangan dan sayuran. Program untuk pemuda turut berperan dalam meningkatkan produksi pangan.
Lebih dari 80 Persen Negara Tak Cukup Pangan
Sebanyak 154 negara hanya mampu memenuhi kebutuhan gizi dari sebagian kecil kelompok makanan sehat. Lebih dari sepertiga negara bahkan hanya mencukupi dua kelompok makanan atau kurang.
Afrika, Karibia, dan Eropa menjadi kawasan yang paling terdampak. Keterbatasan sumber daya alam menjadi salah satu penyebab utama rendahnya swasembada pangan.
Banyak negara kekurangan lahan subur, air, dan tanah produktif. Akibatnya, mereka terpaksa mengimpor pangan dalam jumlah besar.
Negara Maju Belum Tentu Mandiri Pangan
Kemajuan ekonomi tidak menjamin swasembada pangan. Negara kaya seperti UEA, Qatar, Irak, dan Makau justru gagal memenuhi kebutuhan pangan lokal.
Studi Economic Growth Versus the Issue of Food Security (2018) menunjukkan korelasi positif antara GDP per kapita dan ketahanan pangan, namun bukan jaminan.
Investasi di sektor pertanian dan strategi pembangunan yang tepat lebih penting daripada sekadar kekayaan nasional. Guyana menjadi contoh nyata keberhasilan ini.
Ikan dan Sayuran: Tantangan Terbesar Swasembada Pangan
Ikan dan sayuran menjadi kelompok pangan tersulit untuk dipenuhi secara lokal. Hanya sebagian kecil negara yang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri.
Keterbatasan kondisi alam dan infrastruktur menjadi kendala utama. Produksi ikan bergantung pada akses perairan dan teknologi budidaya.
Sayuran membutuhkan lahan subur, air cukup, dan iklim stabil. Kedua komoditas ini juga mudah rusak dan membutuhkan rantai distribusi dingin yang efisien.
Ketergantungan pada Mitra Perdagangan: Risiko di Tengah Krisis
Banyak negara sangat bergantung pada satu atau beberapa negara mitra untuk memasok pangan. Hal ini menciptakan kerentanan tinggi terhadap gangguan rantai pasok.
Pandemi COVID-19 dan insiden Ever Given di Terusan Suez menjadi contoh dampaknya. Kenaikan tarif impor juga memperparah situasi.
Perdagangan Regional: Penting, Namun Tak Cukup
Kerja sama regional dapat meningkatkan ketahanan pangan, namun belum cukup untuk mencapai swasembada penuh. Banyak serikat ekonomi masih kekurangan pangan.
Perdagangan regional hanya meningkatkan swasembada sebagian kecil kelompok makanan. Produksi sayuran masih menjadi tantangan besar bagi banyak serikat ekonomi.
Teknologi dan Kebijakan: Harapan untuk Masa Depan
Teknologi pertanian dan kebijakan pangan progresif berpotensi mengubah peta ketahanan pangan dunia. Proyeksi hingga 2032 menunjukkan peningkatan produksi pangan di beberapa negara.
Sektor daging, misalnya, berpotensi mengalami peningkatan produksi signifikan. Namun, sektor susu dan ikan masih menunjukkan potensi pertumbuhan yang kecil.
Strategi nasional yang komprehensif, seperti “30 by 30” di Singapura, membuktikan bahwa investasi dan inovasi dapat meningkatkan swasembada pangan. Swasembada pangan bukan sekadar pilihan, tetapi kebutuhan mendesak di dunia yang semakin tidak pasti.
Tantangan ketahanan pangan kompleks dan multi-faceted. Namun, dengan strategi tepat dan komitmen kuat, peningkatan swasembada pangan tetap mungkin dicapai.
