Pemerintah tengah gencar membentuk Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih. Targetnya ambisius: 80.000 unit koperasi di tahun ini. Program ini diinisiasi untuk mendorong perekonomian desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan semangat gotong royong. Namun, perjalanan pembentukan Kopdes Merah Putih tak semulus yang dibayangkan.
Tantangan Politik Lokal dan Hambatan di Lapangan
Pembentukan Kopdes Merah Putih menghadapi tantangan signifikan, terutama dari politik lokal yang masih kental di tingkat desa. Perpecahan pasca pemilihan kepala desa masih terasa. Kubu yang kalah seringkali terpinggirkan, termasuk dalam penyaluran bantuan sosial (bansos).
Distribusi bansos pun kerap kali tak adil. Data penerima bansos seringkali didasarkan pada dukungan politik kepada kepala desa terpilih. Hal ini mengakibatkan ketidakmerataan dan memicu kecemburuan sosial.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDT) Yandri Susanto mengakui permasalahan ini. Sebagai mantan Ketua Komisi VIII DPR RI, ia memahami dinamika politik lokal yang rumit dan pengaruhnya terhadap program pembangunan desa.
Upaya Akselerasi Pembentukan Kopdes Merah Putih
Meskipun dihadapkan pada tantangan, pemerintah berupaya keras mengakselerasi pembentukan Kopdes Merah Putih. Hampir semua desa di Indonesia telah menggelar musyawarah desa khusus untuk membahas pembentukan koperasi ini.
Mendes Yandri dan Menkop Budi Arie aktif melakukan kunjungan ke berbagai daerah, termasuk daerah terpencil. Keduanya bekerja keras untuk mensosialisasikan dan mempercepat proses pembentukan Kopdes Merah Putih.
Untuk memudahkan penyelenggaraan musyawarah desa, pemerintah mengizinkan penggunaan 3 persen dana desa. Surat edaran telah diterbitkan untuk memfasilitasi desa yang kekurangan dana. Proses musyawarah juga dipantau ketat untuk mencegah malaadministrasi.
Bantahan Isu Bagi-bagi Uang dan Perbandingan dengan KUD
Mendes Yandri membantah tegas isu “bagi-bagi uang” dalam program Kopdes Merah Putih. Ia menekankan pendekatan yang dilakukan adalah dialog langsung dengan kepala desa, bukan pemberian uang tunai.
Pernyataan ini sekaligus membandingkan dengan Koperasi Unit Desa (KUD) di era Orde Baru yang kerap dikaitkan dengan praktik pembagian uang. Kopdes Merah Putih, kata Yandri, fokus pada pemberdayaan dan pendampingan, bukan sekadar pemberian dana.
Pemerintah menyediakan pendampingan dan akses perbankan untuk mendukung keberhasilan Kopdes Merah Putih. Targetnya, Kopdes Merah Putih akan memiliki badan hukum pada akhir Juni 2025.
Wanti-wanti Ombudsman RI dan Antisipasi Korupsi
Ombudsman RI mengingatkan potensi korupsi di internal Kopdes Merah Putih. Potensi ini muncul karena besarnya anggaran yang digelontorkan pemerintah, yakni Rp 3-5 miliar per koperasi.
Anggaran tersebut bersumber dari pinjaman, APBN, APBD, Dana Desa, dan sumber sah lainnya. Ombudsman menekankan pentingnya pengelolaan yang transparan dan akuntabel untuk mencegah penyelewengan.
Pemerintah perlu memastikan pengelolaan dana berjalan dengan baik dan terbebas dari malaadministrasi. Hal ini penting untuk mencegah laporan malaadministrasi ke Ombudsman dan menjaga kepercayaan publik.
Proses pembentukan Kopdes Merah Putih memang penuh tantangan. Namun, komitmen pemerintah yang kuat, diiringi pengawasan ketat, diharapkan dapat mewujudkan tujuan mulia program ini: meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Keberhasilan Kopdes Merah Putih akan sangat bergantung pada pengelolaan yang transparan dan akuntabel, serta partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat.





