Perdebatan seputar perlunya Undang-Undang Lembaga Kepresidenan kembali mengemuka. Pertanyaan krusialnya: apakah sistem hukum kita sudah cukup menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan kekuasaan presiden? Kekhawatiran ini muncul mengingat besarnya wewenang presiden sebagai kepala negara dalam sistem presidensial Indonesia.
Sistem ketatanegaraan kita saat ini masih terkesan minimalis dalam mengatur lembaga kepresidenan. Meskipun UUD 1945 menetapkan posisi presiden dan wakil presiden, detail institusi, struktur pendukungnya, dan mekanisme kontrol kekuasaan masih kurang jelas. Hal ini menimbulkan potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Kekosongan Hukum dan Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan
Ketiadaan payung hukum yang komprehensif menciptakan celah hukum. Presiden dapat membentuk unit kerja baru, menunjuk staf khusus, atau membentuk struktur ad hoc tanpa batasan yang jelas. Ini menimbulkan pertanyaan tentang akuntabilitas dan transparansi.
Regulasi yang tidak memadai membuat keberadaan staf khusus presiden dari berbagai latar belakang—relawan, selebriti, atau tokoh non-struktural—menjadi sorotan. Pertanyaan tentang pertanggungjawaban mereka kepada publik, apakah mereka tunduk pada kode etik pejabat negara, atau hanya bertanggung jawab kepada presiden secara moral, menjadi penting. Kekuasaan tanpa batasan hukum berpotensi mengarah pada otoritarianisme.
Lima Elemen Penting dalam Undang-Undang Lembaga Kepresidenan
Undang-Undang Lembaga Kepresidenan bukan untuk membatasi kreativitas presiden, melainkan untuk memastikan jalannya kekuasaan tetap konstitusional. Setidaknya lima elemen penting perlu diatur.
Pertama, struktur kelembagaan di sekitar presiden dan wakil presiden harus dijelaskan secara rinci. Saat ini, keberadaan Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet, dan Kantor Staf Presiden diatur melalui peraturan presiden, bukan undang-undang. Pengaturan yang lebih jelas diperlukan untuk memberikan kepastian hukum.
Kedua, mekanisme pengawasan terhadap lembaga kepresidenan perlu diperkuat. Masyarakat berhak mendapatkan informasi dan pengawasan atas penggunaan kekuasaan eksekutif. Mekanisme yang transparan dan akuntabel harus dibangun.
Ketiga, standar etika dan kode etik bagi seluruh anggota lembaga kepresidenan harus ditetapkan. Standar yang jelas dapat mencegah potensi konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang.
Keempat, aturan mengenai pengangkatan dan pemberhentian pejabat di lingkungan kepresidenan harus diatur secara tegas. Prosedur yang transparan dan meritokratis akan mengurangi potensi nepotisme dan penunjukan berdasarkan kepentingan politik semata.
Kelima, mekanisme pertanggungjawaban lembaga kepresidenan kepada DPR dan publik harus didefinisikan. Hal ini akan memastikan akuntabilitas dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Urgensi Pengesahan Undang-Undang Lembaga Kepresidenan
Ketiadaan Undang-Undang Lembaga Kepresidenan menciptakan kekosongan hukum yang berisiko. Hal ini dapat melemahkan prinsip demokrasi dan pemerintahan yang baik. Pengesahan undang-undang ini menjadi sangat mendesak.
Pengesahan undang-undang ini bukan untuk membatasi kekuasaan presiden, tetapi justru untuk memperkuatnya. Kekuasaan yang terukur dan terkontrol akan lebih efektif dan legitim. Dengan demikian, undang-undang ini akan menjamin pemerintahan yang lebih transparan, akuntabel, dan demokratis. Ini akan memberikan kepastian hukum dan melindungi kepentingan publik.





