Rahasia Gencatan Senjata Israel-Iran: Fakta Mengejutkan Terungkap

Rahasia Gencatan Senjata Israel-Iran: Fakta Mengejutkan Terungkap
Sumber: Kompas.com

Setelah 12 hari pertempuran sengit antara Israel dan Iran, dunia bernapas lega. Kedua negara sepakat mengurangi intensitas serangan. Langkah ini disebut de-eskalasi, menandai penurunan agresi militer.

Gencatan senjata memberikan jeda sementara dari serangan udara, darat, dan laut. Tujuan utamanya adalah mengurangi korban jiwa dan menstabilkan situasi yang memanas. Namun, di balik gencatan senjata ini, pertanyaan besar muncul: apakah ini awal perdamaian atau hanya jeda taktis sebelum perang berlanjut?

De-eskalasi: Reposisi Strategis atau Jeda Taktis?

Gencatan senjata Israel-Iran bukanlah perjanjian resmi tertulis. Israel mungkin menghentikan serangan udara langsung, sementara Iran menahan diri dari serangan balasan rudal besar-besaran.

Namun, konflik belum berakhir. Kemungkinan besar akan beralih ke perang bayangan (shadow war), meliputi perang proksi, infiltrasi intelijen, dan perang siber. Israel khawatir Iran akan memanfaatkan jeda ini untuk mengembangkan program nuklirnya.

Abraham Accord dan Isolasi Iran

Bagi Israel, de-eskalasi menjadi momentum reposisi strategis. Mereka akan memperkuat aliansi dengan Amerika Serikat.

Israel juga berupaya memperluas dukungan regional melalui Abraham Accord, inisiatif yang dicanangkan pemerintahan Trump. Uni Emirat Arab dan Bahrain telah menormalisasi hubungan dengan Israel. Arab Saudi dan Oman berpotensi menyusul.

Sikap pasif negara-negara Abraham Accord selama 12 hari pertempuran menunjukkan peluang bagi Israel untuk memperkuat posisinya. Iklan baru di Israel menampilkan pemimpin regional, termasuk Trump, dengan slogan “Aliansi Abraham: Saatnya untuk Timur Tengah Baru.” Ini menunjukkan ambisi Israel untuk memperluas kerja sama dengan negara-negara seperti Arab Saudi, Lebanon, dan Suriah.

Menumbangkan Rezim: Opsi Strategis Israel

Operasi militer Israel terhadap Iran belum berhasil menundukkan sepenuhnya. Menumbangkan rezim Ayatollah Ali Khamenei menjadi opsi strategis berikutnya.

Strategi ini mirip dengan “Arab Spring”, yang menumbangkan rezim otoriter. Gerakan rakyat didukung oleh tokoh oposisi pro-Barat. Israel dan sekutunya mungkin akan menggunakan pendekatan yang lebih halus, memanfaatkan kelompok oposisi di dalam Iran.

Pernyataan Ketua Emeritus Komite Hubungan Luar Negeri DPR AS, Michael McCaul, dan Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, menunjukkan niat untuk menggulingkan Khamenei. Namun, AS dihadapkan pada dilema. Presiden Trump enggan terlibat langsung, mengingat pengalaman mahal dan berisiko di Irak tahun 2003.

Reza Pahlevi, putra mahkota Syah Iran, sudah mulai bersuara menyerukan perubahan rezim. Pertanyaannya, apakah rakyat Iran akan mendukung penggulingan pemimpin mereka?

Gencatan senjata ini hanya de-eskalasi, bukan perdamaian. Tanpa diplomasi substansial, konflik berpotensi meletus kembali. Israel bisa melancarkan serangan pre-emptive terhadap fasilitas nuklir Iran. Iran juga bisa melancarkan serangan besar-besaran ke wilayah Israel dan basis militer AS, bahkan menutup Selat Hormuz. Indonesia dan negara-negara lain perlu bersiap menghadapi kemungkinan perang berkepanjangan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *