Empat pulau kecil di dekat pesisir Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, yakni Pulau Mangkir Kecil, Pulau Mangkir Besar, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan, tengah menjadi sorotan. Perselisihan kepemilikan antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara atas keempat pulau ini telah berlangsung selama bertahun-tahun. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) baru-baru ini menetapkan keempat pulau tersebut sebagai bagian dari administrasi Provinsi Sumatera Utara, memicu kontroversi dan memanaskan kembali konflik yang telah lama terpendam.
Konflik ini berakar pada ketidakjelasan data dan perbedaan interpretasi informasi geografis dan historis. Proses verifikasi dan pembakuan data yang dilakukan sejak tahun 2008 hingga saat ini menunjukkan adanya inkonsistensi informasi yang menjadi titik perselisihan utama kedua provinsi. Perbedaan koordinat yang dilaporkan, klaim atas bukti historis kepemilikan, dan interpretasi data geografis menjadi sumber utama perselisihan.
Perselisihan Data dan Klaim Kepemilikan
Provinsi Aceh mengklaim kepemilikan keempat pulau tersebut berdasarkan berbagai dokumen historis. Dokumen-dokumen ini mencakup Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Atjeh tahun 1965, surat kuasa tahun 1980, peta topografi TNI AD tahun 1978, dan kesepakatan bersama antara Gubernur Aceh dan Sumatera Utara tahun 1992. Aceh juga menyertakan Qanun RZWP3K Aceh dan berita acara penyelesaian sengketa adat tahun 2021 sebagai bukti pendukung klaim mereka.
Sementara itu, Sumatera Utara berpegang pada hasil verifikasi Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi tahun 2008 dan 2017 yang menempatkan keempat pulau tersebut di wilayah administrasi mereka. Mereka juga menunjukkan Surat Mendagri tahun 2018 yang mendaftarkan pulau-pulau tersebut ke UN Conference on the Standardization of Geographical Names sebagai bagian dari Sumatera Utara. Perda Nomor 4 Tahun 2019 Sumut dan Keputusan Mendagri Nomor 050-145 tahun 2022 juga menjadi landasan klaim Sumatera Utara.
Peran Kemendagri dan Analisis Geografis
Kemendagri memainkan peran kunci dalam penyelesaian konflik ini. Mereka telah melakukan berbagai upaya, termasuk rapat pembahasan, analisis spasial, dan survei faktual ke lapangan. Survei yang dilakukan pada tahun 2022 menemukan bahwa keempat pulau tersebut tidak berpenduduk, terdapat tugu yang dibangun Pemerintah Aceh, dan makam yang sering dikunjungi masyarakat untuk berziarah. Pulau Lipan bahkan tercatat dalam kondisi tenggelam.
Keputusan Kemendagri untuk memasukkan keempat pulau ke dalam wilayah administrasi Sumatera Utara didasarkan pada analisis geografis. Lokasi pulau-pulau tersebut dinilai lebih dekat secara geografis ke Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, dibandingkan dengan Aceh Singkil. Meskipun demikian, keputusan ini tetap menimbulkan kontroversi dan ketidakpuasan dari pihak Provinsi Aceh.
Jalan Menuju Penyelesaian Konflik
Konflik ini menuntut solusi yang adil dan komprehensif. Ketidakpuasan Provinsi Aceh atas keputusan Kemendagri sangat jelas terlihat. Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman Suparman, menyarankan perlunya dialog yang melibatkan pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, dan Pemerintah Provinsi Aceh.
Dialog ini diharapkan dapat memberikan penjelasan komprehensif mengenai dasar dan kriteria penetapan wilayah administrasi. Kemendagri juga didorong untuk mengeluarkan pedoman resmi atau regulasi yang lebih jelas terkait kriteria penentuan wilayah administrasi guna mencegah konflik serupa di masa mendatang. Perlu adanya transparansi dan proses yang lebih inklusif dalam pengambilan keputusan terkait batas wilayah administrasi antar daerah. Semoga ke depan, masalah ini dapat diselesaikan dengan bijak dan mempertimbangkan semua aspek yang relevan, baik historis maupun geografis, untuk menghindari eskalasi konflik dan menjaga hubungan antar kedua daerah.
