Air mata Siti Arini (42), calon Pekerja Migran Indonesia (PMI) ilegal, membasahi pipinya. Ia tertangkap sebelum diberangkatkan ke Arab Saudi. Kisahnya menggambarkan dilema ekonomi yang mendorong banyak warga Indonesia untuk mengambil risiko bekerja di luar negeri secara ilegal. Keinginan kuat untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga menjadi pendorong utama keputusan berani, namun berisiko tinggi, ini.
Siti, warga Sukabumi, mengungkapkan keputusannya berangkat ke Arab Saudi karena kesulitan ekonomi. Keterbatasan usia dan pendidikan membuatnya sulit mendapatkan pekerjaan layak di Indonesia.
Dilema Ekonomi dan Kesulitan Mencari Pekerjaan
Siti mengaku nekat berangkat karena terdesak kebutuhan ekonomi. Usia dan ijazah terbatas menjadi kendala utama dalam mencari pekerjaan di dalam negeri.
Ia hanya menunggu di rumah selama proses perekrutan berlangsung. Kedatangannya ke tempat penampungan hanya saat dibutuhkan untuk proses administrasi, seperti pengambilan sidik jari atau verifikasi dokumen.
Ia mendapatkan informasi lowongan kerja dari seorang teman yang telah lebih dulu bekerja di Arab Saudi. Proses perekrutan sudah dimulai sejak 10 Juni 2025.
Proses Perekrutan dan Janji Gaji Menggiurkan
Siti mengaku tidak memiliki kemampuan bahasa Arab atau keahlian khusus yang dibutuhkan di Arab Saudi. Pengalaman kerjanya hanya di pabrik garmen, namun ia berhenti karena faktor usia dan pendidikan.
Ia tertarik dengan tawaran gaji 1.200 riyal (sekitar Rp5 juta) per bulan. Jumlah tersebut dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Sayangnya, rencana tersebut kandas. Siti diamankan bersama calon pekerja migran ilegal lainnya sebelum keberangkatan.
Harapan dan Realita Kerja di Luar Negeri
Meskipun gagal berangkat kali ini, Siti masih menyimpan harapan untuk bekerja di luar negeri secara resmi. Ia menyatakan keinginannya untuk bekerja di Timur Tengah melalui jalur resmi.
Siti mengaku telah menerima uang muka sebesar Rp4.500.000 dari penyalur, dengan total janji sebesar Rp9.000.000. Dokumen yang diminta hanya fotokopi KTP, KK, dan paspor.
Visa yang digunakan bukan visa kerja, melainkan visa ziarah. Hal ini menunjukkan adanya kecurangan dalam proses keberangkatannya.
Siti menjadi salah satu dari banyak perempuan Indonesia yang berjuang keras demi penghidupan keluarga. Kisahnya menyoroti pentingnya akses pekerjaan yang layak dan program perlindungan bagi calon PMI. Semoga keinginannya untuk bekerja secara resmi di luar negeri dapat terwujud.





