Pakar Kritik Intervensi AS: PBB Harus Evaluasi Peran di Timur Tengah

Pakar Kritik Intervensi AS: PBB Harus Evaluasi Peran di Timur Tengah
Sumber: Poskota.co.id

Pengamat Timur Tengah, Faisal Assegaf, melontarkan kritik tajam terhadap keterlibatan militer Amerika Serikat dalam konflik terkini antara Israel dan Iran. Ia menilai tindakan AS tersebut sebagai pelanggaran hukum internasional yang berulang dan sebuah kesalahan fatal. Pernyataan ini disampaikan dalam wawancara bersama pengacara dan aktivis Abraham Samad, yang disiarkan melalui kanal YouTube Abraham Samad SPEAK UP pada 25 Juni 2025. Assegaf menarik analogi dengan invasi Irak tahun 2003, menyebut kedua peristiwa tersebut sebagai bukti “kebohongan” AS kepada dunia.

Penilaian Assegaf didasari pada berbagai faktor, termasuk kekurangan mandat dari Kongres maupun Dewan Keamanan PBB untuk intervensi militer di Iran. Sentimen publik AS sendiri, menurut Assegaf, menunjukkan penolakan terhadap keterlibatan negara dalam konflik tersebut, bahkan dari kalangan internal Partai Republik. Hal ini memperkuat argumennya mengenai pelanggaran prinsip-prinsip hukum internasional dan demokrasi dalam pengambilan keputusan.

Keterlibatan Militer AS: Pelanggaran Hukum Internasional

Faisal Assegaf tegas menyatakan bahwa serangan AS terhadap Iran merupakan kesalahan fatal yang mengulang kesalahan masa lalu. Ia menyamakan situasi ini dengan invasi Irak tahun 2003 yang dibenarkan dengan dalih kepemilikan senjata pemusnah massal Irak, sebuah klaim yang hingga kini belum terbukti. Kebohongan ini, menurutnya, berulang kembali dalam situasi terkini.

Amerika Serikat kembali melanggar hukum internasional dengan melakukan serangan tanpa persetujuan dari Kongres maupun Dewan Keamanan PBB. Data polling yang menunjukkan penolakan publik AS terhadap intervensi militer turut memperkuat argumen ini. Hal ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara kebijakan luar negeri AS dengan kehendak rakyatnya sendiri.

Ketimpangan Global dan Lemahnya PBB

Assegaf lebih lanjut mengkritisi ketimpangan global yang terlihat jelas dalam penerapan hukum internasional. Negara-negara adidaya dan sekutunya seringkali seenaknya melanggar Piagam PBB, tanpa menerima sanksi yang setimpal.

Contohnya adalah invasi Rusia ke Ukraina dan serangan militer Israel ke Gaza yang luput dari tindakan tegas PBB. Hal ini disebabkan oleh adanya mekanisme hak veto di Dewan Keamanan PBB yang memungkinkan negara-negara besar untuk memblokir resolusi yang merugikan kepentingan mereka. Sistem ini, menurut Assegaf, menunjukkan kelemahan fundamental PBB dalam menegakkan hukum internasional.

Reformasi PBB: Sebuah Keniscayaan

Ketidakmampuan PBB dalam menindak pelanggaran hukum internasional yang dilakukan oleh negara-negara adidaya menjadi bukti perlunya reformasi organisasi tersebut. Gagasan ini, menurut Assegaf, sebenarnya sudah lama digaungkan, bahkan sejak tahun 2005 oleh Sekjen PBB saat itu, Kofi Annan.

Namun, hingga saat ini, belum ada kemajuan berarti dalam reformasi PBB. Ketidakmampuan PBB untuk bertindak tegas terhadap pelanggaran berat hukum internasional semakin mengikis kredibilitas dan legitimasinya di mata dunia internasional. Reformasi PBB menjadi isu krusial yang membutuhkan perhatian serius dari seluruh negara anggota.

Momentum Evaluasi Ulang Peran dan Kredibilitas PBB

Abraham Samad mendukung pernyataan Assegaf dan menegaskan bahwa situasi terkini merupakan momentum yang tepat untuk mengevaluasi ulang eksistensi dan kredibilitas PBB. Ketidakmampuan PBB dalam menegakkan hukum internasional dan melindungi negara-negara lemah dari agresi negara-negara adidaya menimbulkan pertanyaan besar akan relevansi dan efektivitas organisasi tersebut.

Perlu adanya pertimbangan serius mengenai perlunya reformasi struktural PBB, termasuk kemungkinan penghapusan hak veto atau pembentukan organisasi internasional baru yang lebih efektif dan adil. Kejadian ini mendorong perdebatan global mengenai masa depan tata hukum internasional dan peran lembaga-lembaga internasional dalam menjaga perdamaian dan keamanan dunia. Kepercayaan terhadap PBB kini berada di titik kritis, menuntut perubahan nyata dan komitmen bersama dari seluruh negara anggota untuk mewujudkan tatanan dunia yang lebih adil dan berlandaskan hukum.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *