Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, menghadapi tuntutan 7 tahun penjara dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK. Tuntutan ini terkait kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI Harun Masiku dan perintangan penyidikan.
Kuasa hukum Hasto, Maqdir Ismail, menilai tuntutan tersebut bukan murni penegakan hukum, melainkan kriminalisasi politik. Ia mempertanyakan sejumlah bukti yang diajukan JPU, khususnya terkait data Call Detail Record (CDR).
Tuntutan 7 Tahun Penjara dan Tuduhan Kriminalisasi Politik
Jaksa menuntut Hasto dengan pidana penjara 7 tahun dan denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan. Mereka meyakini Hasto terbukti bersalah dalam upaya suap Wahyu Setiawan untuk PAW Harun Masiku.
Maqdir Ismail, pengacara Hasto, berpendapat sebaliknya. Ia menganggap kasus ini sebagai kriminalisasi politik, bukan kejahatan murni. Pembuktian, menurutnya, tidak seharusnya didasarkan pada asumsi atau imajinasi.
Ia mencontohkan ketidaklogisan data CDR yang menunjukkan perjalanan Harun Masiku dari Jakarta Barat ke Tanah Abang hanya dalam satu detik. Hal ini dinilai sangat mencederai akal sehat.
Bukti Elektronik dan Keterangan Saksi yang Dipertanyakan
Maqdir juga mempertanyakan bukti elektronik lainnya, khususnya terkait keberadaan Harun Masiku di PTIK bersama Nur Hasan. Waktu tempuh yang dibutuhkan dinilai tidak masuk akal, apalagi di malam hari.
Ia menekankan bahwa pembuktian harus berdasarkan keterangan saksi, bukan asumsi atau imajinasi. Apalagi, saksi kunci seperti Nur Hasan telah membantah keterlibatannya.
Pengacara Hasto menyoroti manipulasi yang diduga terjadi pada bukti-bukti elektronik. Kejanggalan ini semakin memperkuat argumen kriminalisasi politik.
Penetapan Tersangka dan Nuansa Politik
Proses penetapan Hasto sebagai tersangka juga dinilai janggal dan bernuansa politis. Terdapat dugaan upaya paksaan agar Hasto mundur dari jabatan Sekjen PDIP.
Ada pula tekanan agar Hasto tidak memecat Jokowi sebagai kader partai. Jika kedua hal ini dilakukan, Hasto diduga tidak akan dipidanakan.
Maqdir menegaskan, kasus ini terkait erat dengan dinamika internal partai dan kepentingan kekuasaan. Ia menduga ini merupakan upaya yang gagal untuk mengambil alih partai.
Upaya tersebut diduga terkait permintaan tambahan masa jabatan Presiden Jokowi dan kegagalan menambah satu periode kepemimpinannya.
Hasto didakwa menghalangi penyidikan kasus Harun Masiku dengan memerintahkan Harun dan ajudannya untuk menenggelamkan ponsel mereka. Ia juga didakwa memberikan suap kepada Wahyu Setiawan.
Suap tersebut bertujuan agar Wahyu meloloskan PAW Harun Masiku sebagai anggota DPR RI dari Dapil Sumatera Selatan I. Jumlah suap yang diberikan mencapai Rp600 juta.
Dengan demikian, Hasto terancam hukuman berdasarkan Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Kasus Hasto Kristiyanto menunjukkan kompleksitas persimpangan antara hukum, politik, dan dinamika internal partai. Perlu pengkajian mendalam dan obyektif untuk memastikan keadilan ditegakkan.





