Konflik terbaru antara Israel dan Iran telah berakhir, meninggalkan beragam interpretasi mengenai hasil yang dicapai. Aktivis pro-Israel, Monique Rijkers, memberikan pandangannya tentang keberhasilan militer Israel dalam konflik tersebut, menekankan efisiensi operasi dan potensi bahaya program nuklir Iran.
Pernyataan Rijkers yang disampaikan di Indonesia Lawyers Club menimbulkan perdebatan. Pandangannya yang pro-Israel tentang jalannya konflik, perlu dikaji lebih lanjut dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif.
Efisiensi Militer Israel Menurut Rijkers
Rijkers mengklaim Israel mencapai tujuan militernya dalam waktu singkat. Serangan-serangan terfokus pada target strategis Iran, berbeda dengan serangan balasan Iran yang dianggapnya membabi buta.
Ia mencontohkan kemampuan angkatan udara Israel yang mampu melakukan penerbangan bolak-balik antara Teheran dan Yerusalem selama 12 hari operasi militer tanpa mengalami serangan berarti. Rijkers menyebut pencapaian ini sebagai bukti efisiensi militer modern.
Dalam kurun waktu 12 hari, Israel diklaim berhasil menguasai 25 dari 31 provinsi di Iran. Keberhasilan ini menunjukkan perencanaan dan pelaksanaan operasi militer yang terarah dan efektif.
Ancaman Program Nuklir Iran
Rijkers menyoroti bahaya program nuklir Iran, merujuk pada laporan IAEA Juni 2025 yang menyebutkan Iran telah memiliki 408 kilogram uranium yang diperkaya hingga 60 persen. Jumlah ini, menurutnya, cukup untuk membuat beberapa bom atom.
Ia menekankan ancaman program nuklir Iran terhadap stabilitas regional, khususnya negara-negara tetangga seperti Gaza, Suriah, Lebanon, Mesir, dan Yordania. Rijkers juga mengkritisi negara-negara yang mendukung program nuklir Iran.
Indonesia, sebagai negara yang menentang senjata nuklir, harus konsisten dengan pendiriannya dan tidak terpengaruh oleh narasi yang diyakini Rijkers berasal dari ideologi rezim Iran. Hal ini penting untuk menjaga komitmen internasional Indonesia terhadap perdamaian dunia.
Seruan Perdamaian dan Perubahan Ideologi
Rijkers menegaskan bahwa serangan Israel bukanlah upaya untuk mengganti rezim di Iran. Perubahan rezim, menurutnya, adalah urusan internal rakyat Iran.
Namun, ia menyerukan perubahan ideologi di Iran menuju pendekatan yang lebih damai dan tidak anti-Israel. Rijkers menilai propaganda anti-Israel sejak Revolusi Islam 1979 telah memicu kebencian global terhadap Israel.
Ia menyayangkan beberapa negara, termasuk Indonesia, yang terpengaruh oleh narasi tersebut. Rijkers berharap adanya perdamaian antara Israel dan Iran, asalkan tanpa ancaman eksistensial dari pihak Iran.
Rijkers mengingatkan bahwa hubungan Israel-Iran sebelum 1979 relatif damai, bahkan Iran termasuk negara pertama yang mengakui kemerdekaan Israel. Hal ini menunjukkan potensi perdamaian jika ideologi anti-Israel di Iran dapat diubah.
Pernyataan Rijkers mengenai gencatan senjata yang dianggapnya tidak disertai komitmen konkret dari Iran juga perlu mendapat perhatian. Pengalaman perjanjian serupa dengan kelompok Houthi di Yaman yang gagal mengurangi agresi di Laut Merah menjadi pertimbangan penting dalam menilai situasi ini.
Kesimpulannya, pernyataan Rijkers menyajikan perspektif pro-Israel atas konflik Israel-Iran. Namun, penting untuk mempertimbangkan berbagai sudut pandang untuk memahami kompleksitas konflik ini dan upaya untuk mencapai perdamaian berkelanjutan di Timur Tengah.
