Gaji Hakim Naik Drastis: Apakah Integritas Tergerus?

Gaji Hakim Naik Drastis: Apakah Integritas Tergerus?
Sumber: Kompas.com

Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengumumkan kenaikan gaji hakim hingga 280 persen. Kebijakan ini, yang diresmikan pada 12 Juni 2025, menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Kenaikan signifikan ini diklaim sebagai bentuk penghargaan negara terhadap profesi hakim dan upaya untuk meningkatkan integritas lembaga peradilan.

Namun, pertanyaan besar muncul: apakah peningkatan kesejahteraan semata-mata mampu menjamin peningkatan integritas dan independensi hakim? Sejarah menunjukkan bahwa gaji tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan integritas moral.

Kenaikan Gaji Hakim: Investasi atau Ilusi?

Sebanyak 1.451 hakim telah menerima kenaikan gaji yang disebut-sebut tertinggi dalam sejarah Indonesia. Hakim golongan IIIa, misalnya, kini menerima lebih dari Rp 10 juta per bulan, naik dari sekitar Rp 2,7 juta sebelumnya. Golongan IVe bahkan bisa menerima lebih dari Rp 24 juta, belum termasuk tunjangan.

Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa ini adalah bentuk komitmen pemerintah terhadap supremasi hukum. Beliau bahkan menyatakan kesiapan untuk memangkas anggaran kementerian lain jika diperlukan.

Namun, publik tetap skeptis. Kasus korupsi hakim agung Gazalba Saleh pada tahun 2022 menjadi bukti nyata bahwa jabatan tinggi dan penghasilan besar tidak menjamin terhindarnya praktik korupsi.

Tantangan Integritas dan Pengawasan

Kenaikan gaji yang signifikan ini justru memicu kekhawatiran baru. Apakah insentif finansial mampu menangkal godaan suap dan praktik korupsi? Angka pengaduan pelanggaran etik terhadap hakim yang meningkat menunjukkan adanya ketidakpercayaan publik.

Data Komisi Yudisial menunjukkan peningkatan signifikan laporan pelanggaran etik hakim dari 267 laporan pada periode Januari-April 2024 menjadi 401 laporan pada periode yang sama tahun 2025. Meskipun tidak semua laporan terbukti, angka ini mencerminkan kekhawatiran publik yang masih tinggi.

Lebih jauh, KPK masih menyelidiki dugaan pencucian uang senilai Rp 20 miliar terkait kasus Gazalba Saleh. Ini menandakan kompleksitas masalah integritas di lingkungan peradilan.

Ketimpangan dan Ekosistem Keadilan

Di tengah euforia kenaikan gaji hakim, muncul pertanyaan mengenai kesejahteraan aparat penegak hukum lainnya. Bagaimana dengan jaksa, penyidik, panitera, dan petugas pengadilan yang juga berperan penting dalam sistem peradilan?

Bagaimana pula dengan guru di daerah terpencil, perawat di pelosok negeri, atau pengawas pemilu? Apakah pemerintah hanya fokus pada satu segmen saja, tanpa memperhatikan keseimbangan ekosistem keadilan secara keseluruhan?

Ketimpangan ini menimbulkan kegaduhan. Banyak yang mempertanyakan prioritas anggaran, mengingat keadilan merupakan sistem yang utuh, bukan hanya lembaga peradilan saja.

Mafia peradilan tidak hanya bergantung pada hakim yang miskin. Mereka beroperasi dalam jaringan yang kompleks, melibatkan berbagai pihak, mulai dari panitera, pengacara, oknum penegak hukum, hingga makelar kasus.

Kenaikan gaji tanpa diiringi reformasi sistem pengawasan, pembenahan manajemen perkara, dan transparansi putusan hanya akan menciptakan ilusi bahwa keadilan berjalan baik.

Publik bukannya anti terhadap kenaikan gaji hakim, tetapi menuntut adanya imbal balik berupa peningkatan integritas dan penegakan keadilan yang lebih nyata. Keadilan harus dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, bukan hanya segelintir elite.

Pengadilan seharusnya menjadi tempat terakhir bagi rakyat untuk berharap. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa akses keadilan masih sulit dan menakutkan bagi rakyat kecil. Biaya sosial, mental, dan prosedural masih menjadi hambatan.

Kenaikan gaji hakim yang monumental ini harus dibarengi dengan upaya penguatan pengawasan, reformasi menyeluruh, dan peningkatan transparansi. Tanpa itu, kebijakan ini hanya akan menjadi kemewahan yang tak bermakna.

Indonesia membutuhkan hakim yang bersih, berani, dan adil, bukan hanya hakim yang gagah di balik toga. Nasib keadilan berada di tangan mereka. Ketika gaji meroket, integritas tidak boleh menyusut. Pemerintah boleh bermurah hati, namun publik berhak curiga dan menuntut pertanggungjawaban.

Pos terkait