Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, mempertanyakan kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menghapus pekerjaan rumah (PR) bagi pelajar di Jawa Barat. Ia menekankan bahwa pemberian PR merupakan bagian integral dari strategi pembelajaran yang menjadi kewenangan guru, bukan kepala daerah. Keputusan ini memicu perdebatan mengenai peran guru dan pemerintah daerah dalam menentukan metode pembelajaran yang efektif.
Pemberian PR kepada siswa, menurut Lalu, semestinya didasarkan pada pemahaman guru terhadap kebutuhan dan karakteristik masing-masing siswa. Guru, sebagai pihak yang paling dekat dengan siswa, memiliki pemahaman yang lebih komprehensif.
Kewenangan Guru dalam Pemberian PR
Lalu Hadrian Irfani secara tegas menyatakan bahwa kewenangan memberikan PR sepenuhnya berada di tangan guru. Guru memiliki pemahaman yang mendalam tentang kebutuhan belajar setiap siswa. Memberikan PR atau tidak seharusnya menjadi keputusan pedagogis yang diambil oleh guru berdasarkan kondisi kelas dan kebutuhan siswa.
Hal ini penting, karena tidak semua siswa memiliki kondisi belajar yang sama di rumah. Beberapa siswa mungkin memerlukan penguatan materi pelajaran melalui PR, sementara yang lain mungkin tidak. Oleh karena itu, fleksibilitas guru dalam menentukan metode pembelajaran menjadi kunci keberhasilan.
Tanggapan Terhadap Kebijakan Gubernur Jawa Barat
Meskipun mengakui niat baik Gubernur Dedi Mulyadi untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih menyenangkan, Lalu mengingatkan pentingnya tetap berpegang pada prinsip-prinsip pedagogis dan profesionalitas guru. Penghapusan PR secara serentak tanpa memperhatikan konteks pembelajaran di lapangan dinilai kurang tepat.
Kebijakan yang berfokus pada peningkatan kesejahteraan siswa perlu diimbangi dengan pemahaman yang mendalam tentang proses pembelajaran. Kebijakan populis yang mengabaikan aspek pedagogis dapat berdampak negatif pada kualitas pendidikan.
Perlunya Pedoman yang Jelas dari Pemerintah Pusat
Lalu Hadrian Irfani juga menyoroti perlunya pedoman yang lebih jelas dari pemerintah pusat, khususnya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, mengenai batasan kewenangan kepala daerah dalam membuat kebijakan pendidikan. Hal ini untuk mencegah kebijakan populis yang justru menghambat otonomi profesional guru.
Kejelasan regulasi tersebut akan memberikan landasan yang kuat bagi guru dalam menjalankan tugasnya dan mencegah terjadinya konflik kewenangan antara pemerintah daerah dan guru. Pemerintah daerah harus mendukung, bukan menghambat, profesionalitas guru dalam melaksanakan tugasnya.
Gubernur Dedi Mulyadi berargumen bahwa sistem PR konvensional yang hanya menugaskan siswa menyalin soal dari buku ke lembar jawaban sudah usang dan tidak relevan dengan pembelajaran modern. Ia mendorong guru untuk memberikan tugas yang lebih produktif dan aplikatif, seperti membantu pekerjaan rumah tangga atau mengeksplorasi minat dan bakat.
Dedi Mulyadi melihat pentingnya pembelajaran yang menekankan keterampilan berpikir kritis dan pemecahan masalah, bukan sekadar hafalan. Ia ingin siswa menggunakan waktu di rumah untuk aktivitas yang produktif dan kontekstual, seperti membantu orang tua di rumah atau mengembangkan minat dan bakat mereka.
Kesimpulannya, perdebatan seputar penghapusan PR di Jawa Barat menyoroti pentingnya keseimbangan antara kebijakan pemerintah daerah dan otonomi profesional guru. Perlu adanya dialog yang lebih intensif antara pemerintah, guru, dan orang tua untuk menemukan solusi yang optimal dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Pemberian PR, sebagai bagian dari strategi pembelajaran, harus tetap berlandaskan pada prinsip pedagogis dan disesuaikan dengan kebutuhan setiap siswa. Kejelasan regulasi dari pemerintah pusat juga sangat penting untuk mencegah kebijakan yang kontraproduktif dan memastikan terwujudnya sistem pendidikan yang berkualitas dan berkelanjutan.





