Duka mendalam menyelimuti keluarga Juliana Marins, pendaki asal Brasil yang meninggal dunia setelah jatuh dari tebing saat mendaki Gunung Rinjani, Lombok, Indonesia. Kejadian tragis ini memicu kontroversi, dengan pihak keluarga menuding adanya kelalaian dari pemandu wisata dan pihak pengelola Taman Nasional Gunung Rinjani.
Ayah Juliana, Manoel Marins, dalam wawancara eksklusif mengungkapkan kronologi kejadian yang mengungkap dugaan kelalaian fatal tersebut. Pernyataan Manoel ini didukung oleh kesaksian sang ibu, Estela Marins, yang turut merasakan kepedihan mendalam atas kepergian putrinya.
Tuduhan Kelalaian Pemandu Wisata
Manoel Marins menuding pemandu wisata lalai karena meninggalkan Juliana sendirian dalam keadaan kelelahan. Pemandu tersebut, menurut kesaksian Juliana, meninggalkan korban untuk merokok selama 5-10 menit.
Saat kembali, Juliana telah menghilang. Peristiwa ini terjadi sekitar pukul 04.00 pagi, namun pemandu baru menyadari ketidakhadiran Juliana pukul 06.08 pagi, dan langsung merekam video korban sebelum melaporkan kejadian tersebut.
Manoel menilai durasi waktu 40-50 menit yang dibutuhkan pemandu untuk menyadari kehilangan Juliana sangat memprihatinkan. Ia menekankan bahwa ketidakhadiran pemandu selama itu merupakan bentuk kelalaian yang fatal.
Respons Lambat Tim Penyelamat dan Pihak Berwenang
Selain menuding pemandu wisata, Manoel juga mengkritik lambatnya respons dari pihak pengelola Taman Nasional Gunung Rinjani. Kontak dengan tim pertolongan pertama baru dilakukan sekitar pukul 08.30, dan tim tersebut baru tiba di lokasi sekitar pukul 14.00.
Peralatan yang dibawa tim pertolongan pertama terbatas, hanya berupa seutas tali. Bahkan, upaya penyelamatan awal dilakukan dengan cara yang berisiko, yaitu pemandu mengikat tali ke pinggangnya tanpa alat pengaman tambahan.
Tim Basarnas (Badan SAR Nasional) Indonesia dikerahkan kemudian dan baru sampai di lokasi sekitar pukul 19.00 malam. Jenazah Juliana baru ditemukan dua hari setelah kejadian, pada Rabu pagi.
Hasil autopsi menunjukkan Juliana meninggal akibat pendarahan internal karena cedera dada. Kematian diperkirakan terjadi 12-24 jam sebelum evakuasi. Keluarga sangat menyesalkan lambatnya proses penyelamatan ini.
Hambatan Evakuasi dan Tanggapan Pihak Berwenang
Agam Rinjani, penyelamat yang berhasil mengevakuasi jenazah Juliana, menjelaskan beberapa kendala evakuasi. Keterbatasan alat menjadi salah satu faktor penyebabnya.
Faktor cuaca ekstrem seperti suhu dingin, hujan, dan longsoran batu juga sangat menghambat proses evakuasi. Keadaan ini meningkatkan risiko hipotermia bagi tim penyelamat.
Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), Yarman Wasur, membantah tuduhan kelambatan evakuasi. TNGR mengerahkan sekitar 50 penyelamat sejak Selasa. Namun, ia mengakui topografi dan cuaca ekstrem mempersulit proses penyelamatan.
Basarnas juga menyatakan bahwa cuaca ekstrem, suhu dingin, dan lokasi yang sulit dijangkau menjadi kendala utama dalam proses evakuasi Juliana. Pernyataan ini menunjukkan adanya kesulitan objektif di lapangan.
Pemerintah Kota Niteroi, Brasil, kampung halaman Juliana, menyampaikan belasungkawa dan menanggung biaya pemulangan jenazah. Sebagai penghormatan, kota tersebut akan menamai sebuah gardu pandang dengan nama Juliana Marins.
Kementerian Luar Negeri Indonesia menyatakan akan mendampingi kasus ini sejak awal. Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat juga menjelaskan bahwa otopsi telah dilakukan atas permintaan keluarga, dan otopsi lanjutan akan dilakukan di Brasil.
Kisah duka Juliana Marins menyoroti pentingnya keselamatan pendaki dan profesionalisme pemandu wisata serta respon cepat tim penyelamat. Semoga kejadian ini dapat menjadi pelajaran berharga untuk meningkatkan standar keselamatan pendakian di masa mendatang.
