Selat Hormuz, jalur sempit antara Iran dan Oman, merupakan urat nadi perdagangan energi global. Lebar selat ini hanya 35-60 mil, namun lebih dari 20% perdagangan minyak dunia dan sekitar sepertiga gas alam cair (LNG) dunia melintasinya. Penutupan selat ini akan berdampak sangat signifikan, tidak hanya bagi Timur Tengah, tetapi juga seluruh dunia.
Empat Negara Penghasil Energi Terbesar yang Terancam
Iran, Irak, Kuwait, dan Qatar sangat bergantung pada Selat Hormuz untuk ekspor energi mereka. Lebih dari 90% ekspor minyak Iran melewati selat ini. Penutupan selat akan berdampak langsung pada perekonomian Iran sendiri. Irak juga sangat bergantung pada jalur ini untuk mengekspor minyak melalui pelabuhan Basra.
Kuwait, negara kecil namun kaya minyak, sepenuhnya bergantung pada Selat Hormuz untuk ekspor. Blokade akan melumpuhkan ekspor minyaknya sepenuhnya. Qatar, pengekspor LNG terbesar dunia, juga akan sangat terdampak. Penutupan selat akan menyebabkan lonjakan harga LNG di pasar global.
Dampak Bagi Negara-Negara Asia yang Sangat Bergantung pada Selat Hormuz
Negara-negara Asia seperti Cina, India, Jepang, dan Korea Selatan merupakan konsumen utama energi dari kawasan Teluk Persia. Cina, sebagai importir energi terbesar dunia, bergantung pada Teluk untuk hampir 50% pasokan minyak dan gasnya. Gangguan di Selat Hormuz akan berdampak luas pada perekonomian Cina.
India sangat bergantung pada minyak dari Iran, Irak, dan Arab Saudi. Gangguan distribusi akan menyebabkan lonjakan harga bahan bakar dalam negeri. Jepang, yang sebagian besar energinya diimpor, akan menghadapi dampak signifikan pada sektor industri dan energinya jika Selat Hormuz diblokade. Korea Selatan, sebagai negara manufaktur, sangat rentan terhadap fluktuasi harga energi. Krisis pasokan akan berdampak besar pada sektor industri dan ekonominya.
Dampak Global Penutupan Selat Hormuz dan Upaya Antisipasi
Potensi penutupan Selat Hormuz memiliki dampak global yang luas dan serius. Harga minyak mentah akan melonjak tajam, mungkin melampaui US$150 per barel, memicu inflasi dan tekanan ekonomi yang signifikan di negara-negara importir.
Hal ini akan menyebabkan guncangan ekonomi global, karena biaya produksi dan transportasi akan meningkat drastis. Ini berpotensi memicu perlambatan ekonomi bahkan resesi di beberapa negara. Rantai pasok global juga akan terganggu akibat biaya logistik yang membengkak. Produk-produk berbasis minyak akan mengalami kenaikan harga.
Peningkatan ketegangan militer juga tidak dapat dihindari. Tindakan Iran berpotensi memicu respons militer dari Amerika Serikat dan sekutunya. Negara-negara akan berupaya mencari jalur alternatif seperti pipa minyak Trans-Arabian, pipa Kirkuk-Ceyhan, atau jalur LNG dari Qatar melalui Yaman. Namun, jalur-jalur ini memiliki kapasitas terbatas dan beberapa di antaranya rentan terhadap konflik.
Amerika Serikat dan komunitas internasional telah menyatakan keprihatinan yang mendalam. Armada ke-5 AS telah meningkatkan kewaspadaannya, dan negara-negara sekutu mengoordinasikan patroli angkatan laut. Dewan Keamanan PBB juga terlibat dalam upaya diplomatik untuk mencegah eskalasi. Meskipun penutupan penuh tampaknya tidak mungkin terjadi dalam jangka panjang, potensi gangguan, bahkan yang singkat, sudah cukup untuk mengguncang pasar energi global. Negara-negara importir energi harus mempersiapkan skenario terburuk dengan memperkuat ketahanan energi nasional dan diversifikasi pasokan energi. Dunia harus mencari solusi untuk mengurangi ketergantungan pada jalur tunggal dan memperkuat keamanan jalur pasok global. Krisis energi bukan lagi ancaman hipotetis, melainkan potensi nyata yang menuntut kesiapsiagaan global.





