Dunia tengah menyoroti ancaman penutupan Selat Hormuz oleh parlemen Iran. Langkah ini berpotensi memicu krisis energi global mengingat jalur laut sempit tersebut merupakan rute utama ekspor minyak dunia. Ketegangan geopolitik antara Iran dan Amerika Serikat menjadi faktor utama yang mendorong potensi penutupan ini.
Selat Hormuz, yang memisahkan Teluk Persia dari Laut Arab, memiliki peran vital dalam perdagangan global. Bukan hanya bagi Iran, namun juga bagi negara-negara penghasil minyak utama lainnya di kawasan Teluk.
Ancaman Penutupan Selat Hormuz dan Dampaknya terhadap Pasokan Minyak Global
Sekitar 20 persen konsumsi minyak dunia, lebih dari 18 juta barel per hari, melewati Selat Hormuz. Penutupan jalur ini akan berdampak sangat signifikan terhadap rantai pasokan energi global.
Harga minyak dunia telah menunjukkan tren kenaikan signifikan sejak awal tahun 2025, mencapai 35 persen, didorong oleh meningkatnya ketegangan di Timur Tengah. Analis dari JP Morgan memprediksi penutupan total Selat Hormuz dapat memangkas hingga 13 persen pasokan minyak global.
Hal ini akan menyebabkan lonjakan harga minyak yang drastis, diperkirakan mencapai USD 150-200 per barel. Lonjakan harga energi ini berpotensi memicu inflasi global, mengganggu stabilitas pasar keuangan, dan menghambat pemulihan ekonomi dunia.
Dampak Ekonomi bagi Indonesia: Risiko Serius di Sektor Energi
Indonesia, sebagai negara pengimpor minyak mentah dan LPG, akan menghadapi sejumlah risiko serius jika Selat Hormuz ditutup. Ketergantungan Indonesia pada impor energi dari kawasan Teluk menjadikannya sangat rentan terhadap gangguan pasokan.
Berikut dampak ekonomi yang mungkin terjadi:
1. Gangguan Pasokan Energi
Indonesia mengandalkan impor energi dari kawasan Teluk. Gangguan pasokan akan menyebabkan kekurangan minyak dan gas, dan meningkatkan biaya pengadaan energi.
2. Kenaikan Harga Minyak dan LPG
Harga minyak internasional yang melonjak akan langsung berdampak pada harga minyak mentah dan LPG impor di Indonesia. Ini akan membebani neraca perdagangan dan memperbesar defisit transaksi berjalan.
3. Kenaikan Harga BBM
Pemerintah akan menghadapi dilema antara menaikkan harga BBM atau menambah subsidi energi. Keduanya berdampak pada daya beli masyarakat dan APBN.
4. Peningkatan Biaya Logistik
Kenaikan harga BBM akan berdampak pada sektor transportasi dan logistik. Tarif angkut barang akan meningkat, sehingga harga barang pokok juga akan naik.
5. Inflasi dan Pelemahan Daya Beli
Inflasi yang tinggi akan menekan daya beli masyarakat. Bank Indonesia mungkin perlu menaikkan suku bunga acuan untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan harga.
Reaksi Internasional dan Potensi Eskalasi Konflik
Amerika Serikat telah mengecam keputusan Iran sebagai tindakan provokatif yang melanggar hukum internasional. Sanksi tambahan terhadap sektor energi Iran sedang dipertimbangkan oleh Kongres AS dan Uni Eropa.
Lebih dari 50 kapal tanker dilaporkan meninggalkan perairan Selat Hormuz sebagai antisipasi terhadap penutupan. Situasi ini menunjukkan tingkat kepanikan yang tinggi di jalur perdagangan energi global. Potensi eskalasi konflik militer di kawasan Teluk juga menjadi perhatian serius. Ketergantungan global pada Selat Hormuz sangat tinggi, dengan Arab Saudi menyumbang sekitar 38 persen ekspor minyak melalui jalur tersebut. Negara-negara seperti Qatar, Bahrain, dan Kuwait bahkan tidak memiliki rute laut alternatif. Kapasitas pipa darat melalui Saudi dan Uni Emirat Arab juga terbatas, jauh di bawah total kebutuhan.
Situasi ini menuntut respons cepat dan kolaboratif dari komunitas internasional untuk mencegah krisis energi global yang lebih besar. Penanganan yang tepat dan diplomasi yang intensif sangat krusial untuk meredakan ketegangan dan menjaga stabilitas pasar minyak dunia. Ketidakpastian yang tinggi akan terus memberikan tekanan pada harga minyak dan berdampak luas pada ekonomi global.
