Presiden Korea Selatan yang baru, Lee Jae-myung, menghadapi kritik karena gagal memenuhi janjinya untuk mengakhiri siklus balas dendam politik di negara tersebut. Meskipun kampanye pemilihannya menekankan rekonsiliasi, pemerintahannya justru meluncurkan penyelidikan baru terhadap mantan Presiden Yoon Suk Yeol dan istrinya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan pengulangan pola yang telah menghantam kepemimpinan Korea Selatan selama bertahun-tahun.
Sejarah Korea Selatan menunjukkan tren mengkhawatirkan. Enam presiden terakhir, termasuk Roh Moo-hyun hingga Yoon Suk Yeol, menghadapi penyelidikan kriminal atau tuduhan korupsi setelah atau selama masa jabatan mereka. Banyak kasus berujung pada hukuman penjara, bahkan kematian, seperti yang dialami Roh Moo-hyun.
Siklus Balas Dendam yang Berkelanjutan
Janji Lee Jae-myung untuk memutus siklus balas dendam politik tampak ironis. Hanya seminggu setelah kemenangannya, ia menyetujui penyelidikan terhadap pendahulunya dan istri Yoon, atas tuduhan korupsi dan deklarasi darurat militer.
Banyak pihak kecewa. Kim Sang-woo, mantan politisi dari Partai Kongres Politik Baru, menyatakan kekecewaannya atas pengulangan pola yang sama. Ia menilai situasi politik yang ada seharusnya menjadi kesempatan untuk rekonsiliasi, bukan konfrontasi.
Kekhawatiran Terhadap Konsentrasi Kekuasaan
Lim Eun-jung, profesor studi internasional di Universitas Nasional Kongju, mengungkapkan kekhawatiran serupa tentang konsentrasi kekuasaan di tangan Lee Jae-myung. Meskipun Yoon mungkin pantas diadili, penyelidikan terhadap istrinya dinilai berlebihan dan menunjukkan adanya motif balas dendam.
Lee Jae-myung sendiri memiliki catatan hukum yang panjang. Sejak 2018, ia menghadapi berbagai tuduhan, termasuk penyebaran informasi palsu, pelanggaran undang-undang kampanye, dan dugaan penyuapan.
Masa Depan Politik Korea Selatan yang Tidak Pasti
Kasus-kasus hukum yang melibatkan Lee Jae-myung sendiri masih berproses. Hukuman penjara terhadap salah satu penasihat terdekatnya atas kasus dana Korea Utara semakin memperumit situasi. Sidang ulang atas tuduhan pelanggaran hukum pemilu terhadap Lee sendiri ditunda hingga ia meninggalkan jabatannya.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang masa depan politik Korea Selatan. Siklus balas dendam yang berkelanjutan mengancam stabilitas dan kemajuan negara. Kegagalan Lee Jae-myung untuk memenuhi janjinya menunjukkan bahwa perubahan sistemik diperlukan untuk memutus siklus negatif ini dan membangun pemerintahan yang lebih berorientasi pada kepentingan rakyat, bukan pada pembalasan politik. Perlu adanya reformasi hukum dan politik yang komprehensif untuk mencegah terulangnya peristiwa serupa di masa depan. Tanpa perubahan tersebut, Korea Selatan akan terus terperangkap dalam lingkaran setan yang merusak kepercayaan publik dan melemahkan demokrasi.





