Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini mengeluarkan putusan yang cukup kontroversial terkait penyelenggaraan Pemilu nasional dan daerah. Keputusan tersebut mengatur pemisahan jadwal Pemilu nasional dan daerah dengan jeda waktu minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan.
Putusan ini menuai pro dan kontra, terutama dari kalangan legislatif. Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKB, Muhammad Khozin, misalnya, menganggap putusan ini bertolak belakang dengan putusan MK sebelumnya.
Putusan MK: Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah
Dalam putusannya, MK memerintahkan pemisahan pelaksanaan Pemilu nasional dan daerah. Pemilu nasional meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, Presiden, dan Wakil Presiden. Sedangkan Pemilu daerah mencakup pemilihan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, serta pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota.
Jeda waktu antara kedua jenis Pemilu tersebut ditetapkan minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan. Hal ini diatur dalam amar putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada 26 Juni 2025.
Putusan ini mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Kontroversi Putusan dan Reaksi DPR
Muhammad Khozin dari Fraksi PKB DPR RI menilai putusan MK ini kontradiktif dengan putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019. Putusan sebelumnya memberikan enam opsi keserentakan Pemilu, sementara putusan terbaru justru membatasi pilihan tersebut.
Khozin berpendapat bahwa MK seharusnya konsisten dan menyerahkan pilihan model keserentakan Pemilu kepada pembentuk undang-undang, yaitu DPR.
Ia menekankan bahwa kewenangan menentukan model keserentakan Pemilu berada di ranah DPR, bukan MK. Putusan MK yang terbaru dianggapnya sebagai “lompat pagar” kewenangan legislatif.
Khozin juga mengingatkan pertimbangan hukum angka 3.17 pada putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang secara tegas menyatakan MK tidak memiliki kewenangan untuk menentukan model keserentakan Pemilu.
Dampak Putusan dan Langkah Selanjutnya
Khozin menyayangkan putusan MK yang dinilai bertolak belakang dengan putusan sebelumnya. Ia memperingatkan potensi dampak luas putusan ini terhadap konstitusionalitas penyelenggaraan Pemilu.
Ia menambahkan bahwa putusan MK hanya mempertimbangkan satu sudut pandang, sehingga kurang mempertimbangkan dampak jangka panjang. Hal ini menunjukkan pentingnya pertimbangan yang lebih komprehensif dari para hakim.
DPR akan menjadikan putusan terbaru MK ini sebagai bahan pertimbangan penting dalam pembahasan perubahan UU Pemilu. Putusan sebelumnya telah meminta badan pembentuk UU untuk melakukan revisi terhadap UU Pemilu terkait hal ini.
Secara keseluruhan, putusan MK ini memicu perdebatan dan diskusi yang luas terkait pengaturan penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Langkah selanjutnya dari DPR dalam merevisi UU Pemilu akan sangat menentukan implementasi dari putusan ini.
Dinamika politik dan hukum terkait penyelenggaraan Pemilu akan terus berkembang, dan perlu pemantauan yang berkelanjutan untuk memastikan proses Pemilu tetap demokratis, adil, dan transparan.





