Presiden Prabowo Subianto kerap melontarkan ancaman tegas terhadap koruptor dalam pidato-pidatonya. Ancaman tersebut, mulai dari hukuman penjara hingga pengejaran ke pelosok bumi, menimbulkan harapan besar akan penegakan hukum yang kuat. Namun, pidato-pidato tersebut seringkali dianggap sebagai gertakan belaka, tanpa diikuti tindakan nyata dan kebijakan yang jelas. Publik pun mulai mempertanyakan efektivitas dan arah dari pesan-pesan yang disampaikan.
Ketegasan Presiden Prabowo dalam pidatonya juga tertuju pada para menteri. Menteri yang dianggap tidak becus diberi ultimatum untuk mundur atau akan diberhentikan. Meski demikian, kekurangan transparansi dan konsistensi dalam penerapan kebijakan menimbulkan ketidakpastian dan keraguan di masyarakat.
Janji dan Realita: Pidato vs. Tindakan Presiden
Pidato Presiden Prabowo yang berulang kali menekankan pemberantasan korupsi dan penegakan hukum membuat publik berharap besar pada pemerintahannya. Namun, realita di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan antara kata-kata dan tindakan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai komitmen pemerintah dalam menjalankan tuntutan konstitusi.
Banyak yang menilai pidato-pidato tersebut hanya sekadar retorika. Komentar-komentar netizen pun menunjukkan kebosanan dan kejenuhan terhadap pidato-pidato yang dianggap kurang substansial dan tak berdampak nyata. Ketiadaan langkah kongkret dalam pemberantasan korupsi semakin memperkuat persepsi negatif ini.
Rangkap Jabatan: Pelanggaran Konstitusi yang Terabaikan
Di tengah kesulitan ekonomi yang dialami rakyat, banyak menteri dan wakil menteri justru memperoleh keuntungan dari rangkap jabatan. Mereka menikmati jabatan di berbagai perusahaan, termasuk BUMN, sementara rakyat berjuang memenuhi kebutuhan hidup. Fenomena ini merupakan pelanggaran konstitusi yang nyata.
Pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dengan tegas melarang menteri merangkap jabatan di perusahaan negara maupun swasta. Larangan ini diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang memperluas larangan tersebut kepada wakil menteri. Namun, rangkap jabatan masih terjadi secara meluas di pemerintahan.
Beberapa contoh nyata pelanggaran ini terlihat pada menteri-menteri yang menjabat CEO dan komisaris di perusahaan swasta. Hal ini tidak hanya merupakan pelanggaran etika, tetapi juga pelanggaran hukum yang serius.
Integritas Kabinet dan Tantangan Pemberantasan Korupsi
Meskipun Presiden Prabowo mengancam keras para koruptor, kenyataannya korupsi masih merajalela di pemerintahan. Beberapa menteri dikabarkan terlibat dalam dugaan korupsi dan konflik kepentingan. Kasus-kasus seperti minyak goreng, Pertamina, Telkomsel, korupsi BTS, dan pengendalian judi online menunjukkan kelemahan dalam pengawasan dan penegakan hukum.
Kasus-kasus korupsi di instansi pemerintah seperti Bea Cukai dan ekspor benih lobster juga masih terus terjadi. Praktik pungli, suap, dan pengadaan barang yang tidak transparan menunjukkan sistem yang rapuh dan rentan terhadap korupsi. Tambang ilegal juga masih merajalela, mengakibatkan kerugian negara dan kerusakan lingkungan.
Keberadaan menteri-menteri yang dikaitkan dengan dugaan korupsi dan konflik kepentingan menurunkan kredibilitas kabinet dan mempersulit upaya pemberantasan korupsi. Untuk mewujudkan cita-cita yang besar bagi negara, Presiden Prabowo harus berani mengambil tindakan tegas terhadap para pejabat yang tidak memiliki integritas. Perbaikan sistem dan penegakan hukum yang konsisten sangat diperlukan untuk menangani masalah korupsi secara efektif dan berkelanjutan. Kepercayaan publik akan kembali jika pidato-pidato tegas diikuti dengan tindakan nyata dan reformasi yang komprehensif.





